AKSES ADIL UANG BARU THR

PANGKALPINANG, BABELREVIEW.CO.ID – Menjelang hari raya Idul Fitri 1446 H, kebutuhan publik warga terhadap uang baru meningkat drastis, khususnya untuk pemberian Tunjangan Hari Raya (THR). Hal ini bukan sekedar soal transaksi ekonomi, namun juga bagian dari refleksi budaya dan tradisi yang mengakar kuat dalam lingkungan masyarakat muslim. Memberikan uang baru kepada anak-anak, ponakan atau orang tua pada prinsipnya tidak sekedar penanda simbolik tentang berbagi rezeki, namun sebenarnya juga merepresentasi konteks penghormatan dan ekspresi kebahagiaan antar sesama warga. Pun begitu, di balik antusiasme tersebut, juga terdapat situasi problematis yang terus berunag setiap tahunnya yaitu ketika masyarakat kesulitan betul mengakses uang baru dari layanan resmi, sementara muncul banyak calo yang dengan mudahnya mengakses dan menjualnya dengan tarif yang relatif tinggi. Fenomena ini tentunya telah memunculkan pertanyaan di benak publik terkait sejauhmana sebenarnya penukaran uang baru benar-benar memenuhi harapan kebutuhan publik warga? Di sisi lain, seberapa besar ketidakadilan yang ditimbulkan oleh praktik tersebut.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kemudian pihak bank sebagai penyedia akses layanan resmi uang baru justru tidak mampu memenuhi permintaan publik secara adil dan merata? Dan mengapa para calo terkesan begitu mudah dan leluasanya mengakses uang baru dalam jumlah besar. Hal ini juga tergambar dari kasus viral baru-baru ini ketika seorang pemuda Pasuruan Jawa Timur yang memamerkan tumpukan uang baru dalam jumlah miliyaran untuk uang pecahan 1000 sampai dengan 20.000 rupiah (Harian Kompas, 25/3). Bisa dibayangkan betapa berlimpahnya uang pecahan kecil yang bisa diakses seorang anak muda tersebut. Sementara di sisi lain, ada banyak warga yang kesulitan betul mengakses pecahan uang baru. Situasi problematis ini terkesan menunjukkan adanya kesenjangan sekaligus problem ketidakadilan akses terhadap pecahan uang baru. Apakah karena mesti ada orang dalam dari oknum pegawai bank atau bagaimana sebenarnya mekanisme yang lebih adil dalam mendistribusikan akses uang baru tersebut? Inilah sekelumit pertanyaan publik saat ini.

Kacamata Teoritik Ekonomi Mikro: Permintaan dan Penawaran

Fenomena calo uang baru dapat dipahami dengan menggunakan lensa teoritik ekonomi mikro Alferd marshall-principles of economic (1890),menghubungkan mikro dan makro untuk mengupas  dinamika permintaan dan penawaran. Menjelang Lebaran Idul Fitri 1446 H, telah terjadi lonjakan drastis permintaan uang baru untuk digunakan dalam tradisi seperti memberi THR kepada sanak keluarga dan tetangga. Sementara itu, penawaran uang baru yang disediakan pikah Bank Indonesia dan lembaga keuangannya lainnya seringkali begitu terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan publik masyarakat di daerah. Hal ini terlihat dari fenomena panjangnya antrian warga yang hendak mengakses uang baru di sejumlah daerah, termasuk di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Ketimpangan antara permintaan dan penawaran inilah yang menumbuh-suburkan ruang bagi praktik percaloan. Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun penukaran uang baru merupakan kebutuhan sosial yang sah dan lumrah bagi masyarakat kebanyakan, namun ketidakadilan muncul karena pasar uang baru tidak berfungsi dengan baik, adil dan merata di masyarakat.

Siapa yang Butuh dan yang Untung?

Penukaran uang baru, sederhananya merupakan bagian dari refleksi kultural dari spirit berlebaran yang memiliki mendalam bagi masyarakat Islam di Indonesia. Walaupun sebenarnya juga berkembang debat pendapat terkait dampak kurang baik dari ritual memberi THR setiap momentum Lebaran Idul Fitri tersebut, terlebih bagi anak-anak yang dalam beberapa kasus justru menjadi semakin pragmatis dan oportunis berburu THR. Namun, bagaimanapun juga ritual pemberian THR dengan pecahan uang baru juga merupakan bagian dari ekspresi kebahagiaan dan spirit berbagi rezeki di setiap momentum ber-Idul Fitri. Walaupun fenomena ini baru terbilang baru, tepatnya sejak Bank Indonesia mulai intens memproduksi pecahan uang baru dengan mode-mode unik dan baru.

Seiring dengan meningkatnya permintaan uang menjelang lebaran, fenomena calo pun bermunculan. Para calo ini dengan jeli memanfaatkan kelangkaan dan antrian panjang di bank, mereka menawarkan layanan penukaran uang dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada nilai nominalnya. Praktik ini memunculkan ketimpangan akses terhadap uang baru sehingga terkesan hanya sekedar menguntungkan segelintir kelompok tertentu di tengah euforia perayaan keagamaan yang seharusnya merata bagi banyak lapisan masyarakat. Tentu tidak dapat dipungkiri, praktik percaloan uang baru pada gilirannya telah menciptakan ketidakadilan yang merugikan masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak mampu membayar lebih dari nilai nominal uang yang hendak ditukar. Para calo mengatur harga yang jauh lebih tinggi, membuat mereka yang memiliki keterbatasan finansial kesulitan untuk mendapatkan uang baru. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat berbagi dan kebahagiaan yang seharusnya tercipta selama Lebaran. Pada akhirnya, ketidakadilan ini memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, serta memunculkan ketidakpercayaan terhadap sistem penukaran uang yang disediakan oleh pemerintah, khususnya pihak perbankan.

Dinanti Intervensi Solutif Pemerintah

Pemerintah, melalui Bank Indonesia dan lembaga terkait memang telah berupaya melakukan pengaturan penukaran uang baru. Namun, tidak jarang layanan yang disediakan justru masih sangat terbatas dan minimalis sehingga tidak cukup memadai mencukupi kebutuhan publik, baik dalam hal kuantitas maupun kemudahan akses. Bahkan, di sejumlah daerah, termasuk di lingkungan Bangka Belitung, terdapat antrean panjang, sistem yang rumit, dan kurangnya akses lokasi penukaran membuat masyarakat terpaksa dihadapkan pada pilihan bertransaksi dengan para calo. Oleh karena itu, demi mengatasi persoalan tersebut, diperlukan Solusi yang lebih efektif. Beberapa langkah yang bisa ditempuh misalnya menambah jumlah titik penukaran uang baru di berbagai daerah, meningkatkan koordinasi antara pihak bank dengan lembaga keuangan lainnya, termasuk juga perlunya memperketat pengawasan praktik percalon yang bisa merugikan masyarakat luas. Publik masyarakat kita tentunya juga perlu diberikan edukasi terkait pemahaman betapa pentingnya bertransaksi dengan cara yang adil dan bijak, serta perlunya membangun kesadaran tentang dampak buruk dari mendukung praktik percaloan tersebut.

Akhirnya, fenomena penukaran baru dan ritual pemberian THR di momentum lebaran memang persoalan yang juga tidak kalah pentingnya untuk tetap mendapat atensi semua pihak, khususnya para pemegang otoritas jasa layanan perbankan. Kompleksnya antara kebutuhan sosial dan ketegangan transaksional mestinya tetap perlu dikelola secara tertib dan berkeadilan. Setidaknya, harus ada komitmen untuk menghadirkan akses akses yang adil dan setara kepada banyak warga untuk mengakses uang baru. Jangan sampai kemudian hal ini justru menciptakan ketidakadilan akibat terlalu bebasnya urusan tukar-menukar uang saja diserahkan ke mekanisme pasar yang kerapkali terlalu ekploitatif.

Yang pasti, penukaran uang baru adalah bagian dari tradisi tahunan yang juga merefleksikan semangat berbagai rezeki di antara sesama warga. Jangan sampai kemudian, ritual kultural ini justru menjadi terhambat akibat adanya oknum percaloan yang kerapkali memanfaatkan kebutuhan dan kelangkaan sebagai momentum untuk mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya, namun mengabaikan banyak hak warga lainnya. Mudah-mudahakan saja, langkah strategis pemerintah pusat maupun daerah ke depan semakin solutif dan antisipatif untuk memastikan distribusi uang baru lebih merata dan efisien. Insyaallah, selamat ber-Lebaran Idul Fitri 1446 H.

Oleh: Dian Junita, SE
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Bangka Belitung

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *