PANGKALPINANG, BABELREVIEW.CO.ID — Dalam rangka memperingati World Cacao Day, Cokelat CandU menyelenggarakan Pameran Mini dengan tema “Chocolate-Connected! Locally Artisan-Made” pada hari Minggu (13/07/25) di Hotel Santika, Pangkalpinang. Kegiatan ini dilangsungkan mulai pukul 14.00 hingga 17.00 WIB dan tercatat sebagai pameran kakao perdana yang diselenggarakan di Bangka Belitung
Pameran ini memperkenalkan kepada publik proses pengolahan cacao dari hulu ke hilir.
“Dalam pameran ini kita mempertunjukkan proses pengolahan coklat dari biji cacao sampai jadi coklat yang siap dikonsumsi,” ujar Merinda Haris, owner Cokelat CandU.
“Step-by-step-nya mulai dari roasting, cracking, melenger, tempering, hingga pengolahan lemak cacao—semuanya kita bawa ke lokasi agar pengunjung bisa melihat langsung,” tambahnya.
Kolaborasi Lokal dan Edukasi Cacao
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Cokelat CandU dengan dua usaha F&B lokal, yaitu Reis Cafe dan Loka Space. Cokelat CandU juga bekerja sama dengan Universitas Bangka Belitung serta menjadi bagian dari program Bubble Explore yang digagas oleh Bank Indonesia.
“World Cacao Day ini yang diselenggarakan oleh Coklat Candu, bekerja sama dengan dua usaha F&B lokal di sini juga, Rei Cafe dan Loka Space. Kemudian kita juga bekerja sama dengan Universitas Bangka Belitung dan juga merupakan rangkaian dari kegiatan Bubble Explore dari Bank Indonesia,” jelas Merinda.
Selain pengusaha dan kalangan akademik, kegiatan ini turut mengundang perwakilan dari lembaga pemerintahan seperti Dinas Pertanian dan Dinas Pariwisata, bersama para pekebun kakao dari tiga wilayah di Pulau Bangka: Tepus (Bangka Selatan), Pemali, dan Marasenang (Bangka Induk). Ketiga kawasan tersebut telah memproduksi cokelat single origin yang menjadi keunggulan Cokelat CandU
Sebagai industri cokelat pertama di Bangka Belitung, Cokelat CandU mengambil peran strategis dalam hilirisasi cacao lokal.
“Selama ini cacao yang ada di Bangka itu dijual dalam bentuk mentah. Nah, mungkin dengan adanya Coklat Candu, itu bisa menyerap dan memproduksi. Istilahnya mungkin hilirisasi ya, kita mengolah biji cacao itu jadi bukan cuma mentah aja,” kata Merinda.
Menurutnya, potensi cacao di Bangka tidak perlu diragukan karena pohon cacao memang sudah tumbuh di beberapa daerah.
“Cacao di Bangka ini ternyata potensinya itu ada. Cacaonya kita ada, kita bukan yang harus nanam baru. Sudah ada potensi itu, kita tinggal mengangkatnya,” tuturnya.
Melalui pameran ini, diperkenalkan sebuah komunitas yang diberi nama KOKOA (Komunitas Couverture Bangka), yang beranggotakan para pekebun kakao, praktisi industri kuliner, kalangan akademik, dan Cokelat CandU selaku pengolah primer.
“Kita itu community based entrepreneur ya, jadi usaha yang berbasis komunitas,” ungkap Merinda.
Cokelat yang dipajang dalam pameran ditawarkan dengan harga Rp50.000 per potong. Di samping fokus pada aspek edukasi, program ini juga berupaya membangun ekosistem ekonomi baru yang berlandaskan kakao lokal.
“Harapan kita dengan adanya World Cacao Day ini, coklat itu bisa bergerak dari hulu, mulai dari petaniknya, kemudian dari tengah ada kita sebagai industri coklat, dan di hilirnya ada teman-teman yang bergerak di industri F&B,” tutupnya.
(Dinda)







