Dualisme Bursa Komiditas Timah Dinilai Rusak Acuan Harga dan Memperpuruk Pertimahan

Irwan
Dualisme Bursa Komiditas Timah Dinilai Rusak Acuan Harga dan Memperpuruk Pertimahan
Ferdy Hasiman, Peneliti Alpha Research Database

PANGKALPINANG, BABELREVIEW.CO.ID – Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman mengatakan, Presiden Jokowi perlu mencabut lisensi Bursa Berjangka Jakarta (BBJ)/Jakarta Future Exchange (JFX) untuk menjual timah. Ia menilai dengan masuknya JFX pada 2018 ke pasar timah murni batangan telah merusak harga.

Ferdy menjelaskan, Permendag Nomor 53 Tahun 2018 Tentang Ketentuan Ekspor Timah telah membuka ruang bagi Bappebti untuk lahirnya lebih dari satu bursa timah. Akhirnya Bappebti menerbitkan lisensi bagi bursa komoditi yang memenuhi syarat untuk ikut memperdagangkan timah murni batangan, yakni JFX sebagai salah satu bursa timah selain BKDI (Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia) atau Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX).

Padahal, ICDX sudah lebih dahulu menjadi penjual tunggal di pasar timah sekaligus menjadi penentu harga timah nasional dan acuan harga timah dunia.

“Saya meminta Bappebti sesegera mungkin mencabut lisensi yang diberikan kepada JFX dan memastikan ICDX menjadi penjual tunggal timah di bursa komoditas. Presiden Jokowi harus turun tangan dan meminta Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, untuk mencabut Permendag ini,” pinta Ferdy, Jumat (20/6/2020).

Dikatakan Ferdy yang juga pengamat BUMN ini, pada pemerintahan SBY, Menteri Perdagangan yang saat itu dijabat Gita Wirjawan menerbitkan Permendag Nomor 32/M-DAG/PER/6/2013 yang mengatur tata niaga ekspor timah dan mewajibkan timah diperdagangkan di Bursa Timah sebelum diekspor.

Kebijakan itu, dinilai Ferdy membawa angin segar bagi timah di tanah air untuk menjadi acuan harga di pasar timah dunia. Selain itu, dengan adanya satu bursa, komoditas timah bisa memberikan kontribusi keuangan yang besar bagi penerimaan negara. Keuntungan lainnya adalah stabilitas harga timah di pasar terjaga.

Selain dapat mengurangi jual-beli lisensi bahkan meminimalisir perdagangan timah ilegal, termasuk mewujudkan rencana Presiden Jokowi perihal Pusat Logistik Berikat (PLB).

Terbukti Indonesia akhirnya mampu mengendalikan harga timah dunia dan memperluas pasar eskpor timah, terbukti harga timah dunia stabil diatas 20.000 USD/MT dari tahun 2016-2018 dan peran Singapura sebagai secondary market dari semula 90 persen di tahun 2014 turun menjadi 20 persen di tahun 2018. Selain itu penerimaan negara dari Devisa Hasil Eskpor (DHE), Pajak dan Royalti terus meningkat.

Dijelaskan Ferdy, lahirnya Permendag RI No. 32/2013 tak lagi memberikan angin segar bagi Industri timah Indonesia karena Menteri Perdagangan saat itu dijabat Enggartiasto Lukita tidak lagi menempatkan ICDX sebagai satu-satunya bursa penentu harga timah. 

“Ini sebenarnya aturan kontroversi, anomali kebijakan. Kehadiran dua bursa akan merusak acuan harga dan menyebabkan terpuruknya timah. Selain itu pembeli akan bingung dalam menggunakan harga acuan hingga lebih memilih transaksi perdagangan timah Indonesia melalui secondary market,” ujar Ferdy.

Peningkatan perdagangan melalui secondary market akan mengakibatkan meningkatnya country risk perdagangan timah murni batangan di Indonesia, hingga akhirnya mendegradasi kedaulatan Indonesia dalam menentukan harga timah dan menurunkan kepercayaan global terhadap Indonesia. 

Problem dualisme bursa timah Indonesia, dikatakan Ferdy, juga menyebabkan harga timah menunjukan tren penurunan sejak 2019. Di tahun 2020, harga timah terus menurun sampai di bawah 15.000 USD/MT sehingga berpotensi menyebabkan kehilangan pendapatan devisa sebesar US$ 400 Juta. 

Sebagai negara produsen timah kedua terbesar dan negara eksportir timah terbesar, kehadiran dua bursa menyebabkan Indonesia tidak lagi menjadi negara price maker dan kehilangan potensi pasar yang besar.

Selain itu, dualisme bursa akan melemahkan pengawasan terhadap tata niaga perdagangan timah Indonesia yang mengakibatkan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan ini menjadi kurang maksimal.

Ferdy menjelaskan, anomali kebijakan lainnya yakni Pasal 10 PerDirjen No: 05/DAGLU/2/2019 tentang Petunjuk Teknis Verifikasi atas Penelusuran Teknis Ekspor Timah yang berbunyi verifikasi atau penelusuran teknis ekspor timah murni batangan, timah solder dan barang lainnya dari timah yang dilakukan oleh Surveyor tidak mengurangi kewenangan instansi teknis terkait untuk melakukan pemeriksaan.

“PerDirjen ini harus dibatalkan karena jelas memunculkan rantai birokrasi yang panjang yang semakin menyulitkan para pelaku pasar timah, bahkan terlihat tidak adanya kepastian hukum. Presiden Jokowi harus segera turun tangan mengatasi persoalan ini. Jika tidak diperhatikan, percuma saja Indonesia menjadi negara produsen timah terbesar kedua di dunia, tetapi tak sanggup menentukan harga di pasar global,” katanya.

Total sumber daya timah Indonesia berdasarkan data kementrian ESDM dalam bentuk bijih sebesar 3.483.785.508 ton dan logam 1.062.903 ton, sedangkan cadangan timah Indonesia dalam bentuk bijih sebesar 1.592.208.743 ton dan logam 572.349 ton.

Cadangan timah Indonesia ini menempati urutan kedua terbesar di dunia setelah Cina. Dari sisi demand, Kebutuhan timah dunia berkisar 200.000 ton per tahun dan Indonesia berkontribusi sebesar 40 persen atau sekitar 80.000 ton per tahun. Kondisi ini seharusnya menjadikan Indonesia sebagai benchmark harga timah dunia. (BBR)