Jerambah Gantung dan Masalah Sampah: Hukum yang Ada, Penegakan yang Absen

Oleh: Allen oktavia putri/ Mahasiswi/Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

PANGKALPINANG, BABELREVIEW.CO.ID – Fenomena menumpuknya sampah di kawasan Jerambah Gantung, Kelurahan Kerabut, Pangkalpinang, menurut saya menjadi tamparan keras bagi wajah penegakan hukum lingkungan di daerah. Sampah rumah tangga, plastik, hingga bau menyengat yang mengganggu warga bukan lagi sekadar masalah kebersihan, melainkan sudah masuk ke ranah hukum karena menyangkut hak konstitusional masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat.

Bacaan Lainnya

Secara yuridis, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang baik. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah juga dengan tegas memerintahkan pemerintah daerah untuk mengelola sampah secara benar sekaligus melarang masyarakat membuang sampah sembarangan. Dari sudut pandang saya, aturan ini sudah cukup jelas, tetapi sayangnya di Jerambah Gantung norma dan praktik berjalan sangat jauh.

Bagi saya, kondisi di lapangan memperlihatkan kesenjangan serius. Tumpukan sampah terjadi bukan hanya karena perilaku masyarakat yang kurang disiplin, tetapi juga akibat lemahnya pengawasan pemerintah dan minimnya sarana pengelolaan. Padahal Pasal 40 UU 18/2008 sudah mengatur ancaman pidana bagi siapa saja yang membuang sampah sembarangan hingga menimbulkan pencemaran. Artinya, menurut saya, ini jelas pelanggaran hukum, bukan sekadar kelalaian.

Saya berpendapat bahwa setidaknya ada dua langkah hukum yang seharusnya ditempuh. Pertama, langkah preventif dengan memperkuat fasilitas pengelolaan sampah, menambah TPS dan armada pengangkut, serta melakukan edukasi hukum kepada masyarakat. Kedua, langkah represif berupa penegakan hukum yang konsisten, baik melalui sanksi administratif, denda, maupun pidana. Tanpa kombinasi keduanya, menurut saya, hukum lingkungan hanya akan berhenti pada teks aturan tanpa daya paksa nyata.

Dari perspektif hukum, saya melihat kasus Jerambah Gantung adalah bukti nyata regulasi tanpa implementasi. Pemerintah Kota Pangkalpinang seharusnya mampu menjadikan kawasan ini sebagai model pengelolaan sampah terpadu. Jika tidak, citra kota akan terus tercoreng oleh kelalaian pemerintah. Hak atas lingkungan sehat adalah amanat konstitusi, dan menurut saya, negara tidak boleh abai terhadap kewajiban tersebut.

Akhirnya, saya menilai bahwa sampah bukan sekadar urusan teknis kebersihan, melainkan persoalan hukum, martabat, dan keberlanjutan. Jika aparat tidak menegakkan hukum dengan tegas, Jerambah Gantung akan tetap identik sebagai kawasan kumuh yang mencederai wajah kota sekaligus mengabaikan hak dasar warganya.

Lebih jauh, dari kacamata saya, kasus ini juga memperlihatkan lemahnya koordinasi antarinstansi. Dinas lingkungan hidup, kelurahan, dan aparat hukum seperti berjalan sendiri-sendiri tanpa sinergi. Akibatnya, tanggung jawab hanya saling dilimpahkan, sementara masyarakat tetap jadi korban.

Menurut saya, rendahnya budaya hukum masyarakat juga memperparah situasi. Kesadaran hukum seringkali kalah oleh kebiasaan instan membuang sampah sembarangan. Edukasi hukum lingkungan tidak cukup berhenti pada sosialisasi, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata dan penegakan aturan. Tanpa itu, hukum akan kehilangan kewibawaannya.

Terakhir, saya berpandangan bahwa pendekatan partisipasi publik harus dihidupkan. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri tanpa melibatkan warga Jerambah Gantung. Menurut saya, skema pengelolaan sampah berbasis komunitas, insentif bagi warga taat aturan, dan sanksi sosial bagi pelanggar bisa menjadi solusi tambahan. Hukum akan lebih hidup jika masyarakat dilibatkan sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar objek aturan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *