Menginterpretasikan Keberlanjutan pada Pariwisata di Babel

Penulis: Rusni Budiati (ASN di Bappeda Kepulauan Bangka Belitung)
PANGKALPINANG, BABELREVIEW.CO.ID -- Hari Bumi (Earth Day) diperingati setiap tanggal 22 April sejak 1970 dan telah diperingati secara global sejak 21 tahun yang lalu. Menilik laman earthday.org, pada tahun 2021 ini, tema Hari Bumi ke-51 adalah “Restore our Earth” atau “Pulihkan Bumi Kita”, sebagai gagasan pragmatis yang menolak bahwa hanya dengan tindakan-tindakan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang dialami bumi akan cukup untuk kita berkehidupan. Diperlukan banyak langkah dan tindakan baik secara individual maupun kolektif agar lingkungan kita tetap layak untuk ditinggali. Dengan terjadinya pandemi Covid-19, tema pemulihan ini menjadi relevan karena pandemi ini memberikan gambaran yang jelas bahwa kesehatan kita juga terkait dengan keadaan lingkungan kita dan keberlanjutannya.
Di kepariwisataan, tema-tema keberlanjutan mewarnai pula tema-tema peringatan hari pariwisata dunia atau World Tourism Day (WTD) yang diperingati setiap 27 September, karena tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan banyak yang terkait dengan ekonomi pariwisata yang multi sektor baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun Bangka Belitung ingin menempatkan diri sebagai destinasi dunia, gaung WTD memang tidak terasa di sini. Tema-tema yang diusung setiap tahun memang tidak terlalu mendapatkan perhatian secara lokal, walaupun konteksnya selalu aktual dan berkaitan dengan pembangunan pariwisata di belahan dunia manapun. Misalnya pada tahun 2019, tema WTD adalah Tourism and Jobs: A Better Future for All, konteksnya terasa semakin kuat di tahun 2020 dengan terjadinya Pandemi Covid-19. Seperti yang disampaikan Sekjen UNWTO dalam pidato resmi WTD 2020, pandemi ini membuat dunia “mandeg” dan pariwisata menjadi salah satu ekonomi yang paling terpukul dengan jutaan pekerjaan dalam kondisi kritis, dan ini juga dirasakan oleh daerah-daerah di Bangka Belitung yang mulai merasakan dampak ekonomi dari pariwisata, misalnya di Pulau Belitung yang telah ditasbihkan sebagai salah satu Bali baru.
Pada tahun 2020, tema WTD adalah Tourism and Rural Development. Sejak Laskar Pelangi menjadi “penanda” geliat pariwisata di Bangka Belitung, sebenarnya provinsi ini telah mendudukkan keunggulan destinasinya pada wisata berbasis alam. Marilah kita akui, bahwa posisi kita untuk pariwisata berbasis urban masih jauh jika hendak bersaing dengan wilayah-wilayah lain, walaupun sebetulnya urban heritage tourism yang ada di Bangka Belitung sangat potensial dikembangkan. Bangka Belitung juga berharap dapat mengakselerasi ekonomi pariwisata dengan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata, yang berusaha “direplikasi” dari Pulau Belitung ke Pulau Bangka, namun kendala konflik spasial masih terus membayangi dan ada isu keterlibatan masyarakat setempat dan dampaknya yang juga harus dicermati dengan baik dan hati-hati. Lalu bagaimanakah Bangka Belitung selama ini menerjemahkan keberlanjutan dalam pembangunan pariwisatanya?
Destinasi non-Urban
Di awal dekade 2010, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah memulai mempersiapkan “pengganti” Laskar Pelangi dengan memperhatikan berbagai kasus destinasi yang muncul dari kepopuleran filmografi di dunia, dan dengan memperhatikan keunggulan kompetitif wilayah ini yang juga menjadi pusat sejarah pertimahan dunia. Pengembangan geowisata telah mulai dirintis lebih dari 1 dekade yang lalu di Bangka Belitung, dan walaupun sebenarnya perencanaan awal justru disusun untuk Pulau Bangka terlebih dahulu, akhirnya Belitung secara resmi menjadi geopark nasional lebih dahulu. Hal ini sebetulnya tidak terlepas dari keinginan kuat masyarakat untuk merubah ekonominya dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada, didukung oleh keberpihakan pemerintah setempat melalui berbagai kebijakan yang memihak masyarakat, serta pilihan ekonomi yang tersedia -- atau tersisa, di wilayah tersebut.
Potensi wisata berbasis alam memang erat dengan kehidupan di luar area perkotaan. Dimana lagi orang dapat menemukan pemandangan hijau, udara segar, lansekap alam liar, gunung, maupun hutan. Walaupun banyak kota-kota yang dibangun di dekat pantai, pantai-pantai di Bangka Belitung yang tidak berada di area urban justru sangat menarik. Bahkan, banyak pantai yang semakin sulit diakses, semakin indah dan luar biasa pemandangannya. Ini seperti mengkonfirmasi kata-kata Ade Perucha Hutagaol a.k.a. Trinity, seorang blogger nasional yang kondang di dunia pelancongan Indonesia dalam salah satu tulisannya, bahwa “jalan menuju ke surga itu susah” untuk menggambarkan memang banyak destinasi yang harus dicapai dengan perjuangan namun hasilnya pantas dengan usahanya.
Walaupun pantai masih menjadi jualan utama wilayah ini, baik masyarakat, pelaku usaha pariwisata maupun pemerintah sama-sama menyadari bahwa kita tidak bisa hanya menjual pariwisata pantai saja. Bangka Belitung secara geologi memiliki ciri khas yang membedakannya dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia, yang membuat Bangka Belitung potensial untuk menjadi sebuah geopark. Masyarakat yang semakin cerdas juga sudah mulai teredukasi dengan dampak demonstratif dari ekonomi pariwisata dan kebanggaan yang dirasakan warga yang daya tarik di tempatnya menjadi terkenal. Hutan mangrove, bukit, bekas kolong tambang, padang pasir bekas tambang, pembiakan lebah, air terjun, sungai, sawah , bahkan padang purun pun menjadi daya tarik yang akhirnya dilirik dan dimanfaatkan masyarakat untuk menjadikan wilayahnya sebagai sebuah destinasi.
Apakah Infrastruktur adalah Modal Utama?
Ketersediaan infrastruktur selalu dianggap sebagai kendala terbesar ketika warga hendak mengembangkan daya tarik yang ada di tempatnya. Permintaan dukungan dan kehadiran pemerintah di tempat itupun biasanya sangat terkait dengan permintaan dukungan pembangunan infrastruktur. Pemerintah juga sangat sering menerjemahkan kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan daya tarik pariwisata di wilayahnya adalah kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur. Tentu saja kebutuhan infrastruktur dapat sangat mendukung beroperasinya daya tarik wisata. Namun, yang sering dilupakan adalah bahwa, ada aspek-aspek keberlanjutan yang sangat penting yang harus dimiliki oleh sebuah destinasi pariwisata, baik dari sisi ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan. Yang juga sering kali dilupakan para pemangku kepentingan adalah bahwa destinasi itu tidak hanya terdiri dari sebuah kawasan dengan daya tarik, tetapi ada manusia yang mengelola dan memanfaatkannya yang akan sangat menentukan keberlanjutan destinasi itu sendiri.
Aspek-aspek keberlanjutan dan pembentuk destinasi pariwisata di atas itulah yang harus direncanakan dengan baik oleh para pemangku kepentingan. Memang kehadiran pemerintah selalu diharapkan di semua tempat. Tetapi, banyak yang membuktikan bahwa destinasi yang muncul dari masyarakat dan dikembangkan oleh masyarakat dengan swadaya justru mempunyai ketahanan dan keberlanjutan yang lebih baik. Banyak desa-desa wisata yang justru berkembang lebih dahulu daripada masuknya infrastruktur dari pemerintah ke kawasan tersebut, dan biasanya resilience desa-desa tersebut menjadi sangat tinggi karena mereka tidak tergantung kepada bantuan pemerintah. Mungkin yang mereka harapkan dari pemerintah justru adalah bagaimana mereka meningkatkan daya saingnya dengan membangun kapasitas para pelaku/masyarakat pada hal-hal yang lebih spesifik serta dukungan kebijakan yang memihak dan melindungi masyarakat tersebut secara ekonomi, sosio kultural dan lingkungan, dukungan pengembangan jaringan (networking) dan mungkin dukungan peningkatan atau perbaikan infrastruktur yang telah mereka bangun sendiri.
Apakah Pariwisata adalah Panacea?
Dari berbagai aspek pembangunan pariwisata (pemasaran, destinasi, kelembagaan dan industri), memang pemerintah harus terlibat dalam perencanaannya. Namun, jika kesadaran bahwa “manusia” yang ada disitu dan kreativitasnya adalah modal utama membangun pariwisata dilupakan, maka sering kali perencanaan pembangunan pariwisata hanya menjadi panduan pemerintah saja, dan tidak mengikat komitmen masyarakat yang menjadi subyek dari pembangunan pariwisata yang sesungguhnya.
Di sisi masyarakat juga ada anggapan bahwa salin temple (copy paste) dan sedikit modifikasi adalah strategi yang hebat dalam menghasilkan sebuah destinasi, sehingga muncul daya tarik wisata yang seragam dan tidak bertahan lama dalam persaingan, karena tidak melihat potret kewilayahan yang lebih luas dan tematik yang tertangkap serta tertuang dalam perencanaan pemerintah. Membuka mata lebar-lebar dengan perkembangan di sekitar dan global sangat penting, tetapi melihat ke dalam dengan hati-hati dan kritis menjadi lebih penting untuk mengambil langkah yang bijak ketika membangun destinasi.
Ekspertis atau keahlian untuk mengembangkan pariwisata tidak saja harus dimiliki oleh masyarakat dan pelaku usaha terkait, tetapi juga diperlukan di ranah birokrasi dan politik. Kenyataannya bahwa banyak birokrat atau politisi yang menganggap dirinya sangat memahami pariwisata tanpa benar-benar melihat pariwisata secara utuh sebagai sebuah sistem dan sebuah ekonomi yang disupport oleh berbagai sektor dan aktor. Anggapan “Jika dibangun infrastruktur A di daerah X, maka pariwisata di sana akan maju” seringkali dipercaya para pengambil kebijakan. Kadang terlupakan bahwa di daerah X tersebut secara penataan ruang infrastruktur A tersebut tidak memungkinkan untuk dibangun, dan kadang terlupakan bahwa ada biaya pemeliharaan yang harus diperhitungkan kedepan, dan yang paling penting sering terlupakan ada sumber daya manusia yang harus memanfaatkan dan menjaganya, apalagi untuk memperhitungkan keberlanjutan di sisi lingkungan.
Pariwisata dengan salah kaprah selalu dianggap sebagai panacea, obat manjur untuk semua situasi, tetapi sayangnya semua seolah berharap panacea ini muncul dari tanaman yang tidak perlu disemai, dirawat, diriset, dan diinternalisasikan lebih dalam sebelum diolah dan ditelan lebih lanjut. Terlebih lagi, pariwisata dianggap sangat perkasa, sehingga ia dianggap bisa menyelesaikan semua masalahnya sendiri. Seperti bumi yang harus di restorasi dan di rawat bersama, pariwisata tidak bisa berdiri sendiri dan tidak akan bertahan tanpa mempedulikan aspek-apek keberlanjutan yang ilmiah dan bertanggung jawab. Sudah saatnya Bangka Belitung menginterpretasikan keunggulan dan kebutuhannya dengan hati-hati ketika mengembangkan pariwisata dengan benar-benar menjalankan pembangunan pariwisata yang terintegrasi dalam pembangunan kewilayahan secara utuh, bukan hanya menjadi jargon ataupun harapan-harapan serta dorongan impulsif tanpa langkah-langkah yang terencana, mantap dan bijak. ***
Tentang Penulis:
Nama : Rusni Budiati
Alamat Kantor : Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Jl. Pulau Belitung No. 2 Kompleks Pemprov Babel, Kel. Air Itam, Pangkalpinang, Indonesia
Alamat Surel : rusni.budiati@gmail.com / rusni.budiati@babelprov.go.id
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Tempat, Tgl. Lahir : Mentok, 16 Mei 1977
Pengalaman Kerja:
- (01/05/2020 – sekarang) Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung - Posisi: Penerjemah Ahli Madya
- (06/10/2017 -31/01/2020) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kepulauan Bangka Belitung - Bidang: Destinasi Pariwisata - Posisi: Kepala Bidang
- (28/02/2009 – 06/10/2017) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kepulauan Bangka Belitung - Bidang: Pemasaran Pariwisata - Posisi: Kasi Analisis Pasar Pariwisata, Bidang Pemasaran Pariwisata
- (01/03/2003 – 27/02/2009) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kepulauan Bangka Belitung - Bidang: Sosbud - Posisi: Staff
Pendidikan:
- Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, Indonesia - Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD) - Gelar: Master of Engineering (M.Eng,)
- Institute for Housing and Urban Development Studies (IHS) – Erasmus Universiteit Rotterdam, The Netherlands - Urban Management and Development- Specialization: Urban Social Development - Gelar:Master of Science (M.Sc.)
- Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta, Indonesia - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan: Ilmu Hubungan Internasional - Gelar: Sarjana Ilmu Politik (SIP)
- SMA Negeri 1, Purwokerto, Jawa Tengah
- SMP N 1 Mentok, Bangka
- SD N No. 95 Mentok, Bangka