Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021: Angin Segar mewujudkan Kampus Bebas dari Kekerasan Seksual

Irwan
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021: Angin Segar mewujudkan Kampus Bebas dari Kekerasan Seksual
Luna Febriani

Penulis: Luna Febriani (Akademisi)

 

BABELREVIEW.CO.ID -- Kemunculan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi akhir-akhir ini menuai banyak kontroversi dalam masyarakat. Kontroversi yang muncul tidak dapat dilepaskan dari proses kemunculan regulasi dan interpretasi beberapa pasal yang termaktub dalam regulasi tersebut.

Salah satu pasal yang banyak menuai kontroversi adalah pasal 5 yang mengatur tentang persetujuan korban.Bagi kelompok yang kontra, pasal 5 ini kerap diinterpretasikan dapat memiliki konsekuensi menghalalkan seks bebas berbasis persetujuan dalam lingkungan perguruan tinggi.

Selain itu, kontroversi ‘dengan persetujuan’ ini dianggap tidak didasarkan atas nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

Melalui tulisan ini, penulis tidak ingin mendebat tentang interpretasi pasal-pasal yang menjadi kontroversi mengingat itu diluar kemampuan dan keilmuan penulis. Hanya saja, melalui tulisan ini penulis mencoba mengurai secara sosiologis dan perspektif gender atas kemunculan perrmendikbud nomor 30 Tahun 2021 ini.

Kemunculan regulasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk mewujudkan perguruan tinggi yang aman, sehat dan nyaman dari kekerasan seksual bagi setiap individu yang berada dalam lingkungan perguruan tinggi.

Pertanyaan yang banyak muncul kemudian apakah selama ini lingkungan perguruan tinggi tidak aman dari kekerasan seksual mengingat orang-orang yang ada dalam lingkungan perguruan tinggi adalah orang yang berpendidikan.

Banyak yang tidak mengetahui bahwa nyatanya lingkungan perguruan tinggi yang ‘katanya’ diisi oleh orang berpendidikan justru menjadi salah satu lingkungan yang memiliki kejadian kekerasan seksual relatif tinggi.

Tingginya tingkat kekerasan seksual di perguruan tinggi ini dapat dibuktikan dari data-data hasil penelitian yang relevan, seperti data dari Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas perempuan) dan Kemendikbudristek itu sendiri.

Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 20155-2020, lembaga ini menerima pengaduan tentang kekerasan yang mana menunjukkan bahwa 27% dari total pengaduan berasal atau terjadi di lembaga pendidikan. Selain itu, temuan mengejutkan datang survei yang dilakukan oleh Kemendikbudristek (2019) yang menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan tinggi menempati posisi ketiga terbanyak lokasi terjadinya kekerasan seksual, dengan rincian lokasi jalanan (33%), transportasi umum (19%) dan kampus (15%). Bahkan, ironisnya survei Ditjen Diktiristek (2020) menemukan kenyataan bahwa sebanyak 77% dosen mengetahui tentang kekerasan seksual yang terjadi di kampus namun memilih untuk tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus (63).

Data statistik diatas menunjukkan bahwa orang yang memiliki dan berada dalam lingkungan pendidikan tinggipun bisa menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual. Ini seakan menegaskan bahwa kekerasan seksual tidak mengenal tempat, profesi, dan pendidikan.

  • Halaman
  • 1
  • 2
  • 3