Oleh : Umulya Islaha
BABELREVIEW.CO.ID – Indonesia sebagai negara hokum tentu saja mewajibkan semua orang tanpa terkecuali untuk patuh terhadap peraturan yang berlaku dan tidak bertindak sewenang-wenang melanggar tatanan hukum yang berlaku. Hal inilah yang mendasari bahwasanya eksistensi peraturan menjadi sangat penting.
Namun, saat ini arti penting munculnya berbagai peraturan sedang dipersoalkan. Pasalnya peraturan saat ini semakin banyak dikeluarkan namun justru saling tumpang tindih dan membingungkan. Bahkan beberapa peraturan terkesan tidak singkron dan saling bertentangan.
Peraturan perundang-undangan yang tercipta harusnya menjadi produk hukum yang muncul untuk menyelesikan permasalahan yang dihadapi pemerintah maupun rakyat. Namun, ada kalanya munculnya regulasi tidak mampu mengatasi masalah namun justru memunculkan persoalan baru ataupun peraturan yang dikeluarkan itu tidak tepat sasaran dan hanya menguntungkan sekelompok orang bukan untuk kepentingan umum dan negara.
Mantan Sekertaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) M. Guntur Hamzah saat menjadi narasumber acara Konferensi Hukum Nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember di Jember Jawa Timur pernah menerangkan bahwa sudah begitu banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia hingga membuat Indonesia ibarat belantara hukum yang kemudian rentan melahirkan persoalan.
Tumpang tindih regulasi dianggap sebagai penyebab utama ketidakpastian hukum di negara ini. Situasi ini serba multitafsir, kofliktual, dan tidak atas asas. Akibatnya efektifitas implementasi regulasi menjadi lemah. Indonesia saat ini tengah mengalami krisis rasionalitas formal dalam peraturan perundang-undangan.
Krisis rasionalitas formal terjadi karena ketidakmampuan hukum merespon kebutuhan masyarakatnya. Jadi undang-undang hanya dibuat untuk meemenuhi target. Ditambah dengan ketidakpercayaan masyarakat kepada pembuat undang-undang.
Seperti halnya yang sedang ramai baru-baru ini terkait aksi gerakan Peringatan Darurat yang bermula dari dua putusan penting Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan pertama, MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang memperbolehkan setiap partai politik mengusulkan calonnya sendiri dalam pilkada, meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Sementara itu putusan kedua, MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa usia pencalonan seorang kepala daerah dihitung pada saat ditetapkan sebagai calon, bukan saat dilantik.
Kedua putusan ini dianggap sebagai langkah progresif untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Namun, keputusan Badan Legislatif (Baleg) DPR dan pemerintah dengan sigap dan cepat tanggap untuk merevisi UU Pilkada tersebut sehingga dianggap mengabaikan substansi putusan MK. Hal inilah yang menjadi pemicu kemarahan publik dan mendorong terjadinya aksi demo besar-besaran yang mengusung gerakan Peringatan Darurat.
Aksi cepat tanggap DPR dalam merevisi UU Pilkada yang kurang dari dua puluh empat jam inilah yang membuat masyarakat cukup heran mengapa saat pembahasan soal kekuasaan begitu cepat DPR merancang undang undang revisi sedangkan perihal Rancangan Undang Undang yang dianggap krusial bagi masyarakat justru bertahun-tahun belum juga terselesaikan.
Seperti halnya naskah Rancangan Undang Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) yang telah diusungkan sejak tahun 2008 lalu bahkan sampai saat ini belum juga rampung dan tidak kunjung ada kejelasannya. Hal inilah yang memicu ketidakpercayaan publik kepada pemerintah serta adanya kecurigaan publik karena kesan keengganan DPR untuk menyepakati RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dalam rapat paripurna.
Kecurigaan publik diperkuat dengan beberapa kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara yang pada tahun 2023 sebesar Rp 28,4 truliun dan tahun 2022 lalu saja mencapai angka Rp 48,786 triliun, dengan tingkat pengembalian kerugian melalui pidana tambahan uang pengganti hanya sebesar 7,83 persen dari total kerugian negara atau setara dengan Rp 3,821 triliun.
Tentu saja keengganan DPR mengesahkan RUU PATP ini patut diduga karena RUU ini mengatur tentang norma unexplained wealth, yaitu dugaan kepemilikan kekayaan secara tidak sah. Norma yang jika menjadi hukum positif, akan menyasar para pejabat publik (termasuk anggota dewan) dengan profil kekayaan yang tidak sesuai dengan pendapatan maupun LHKPN yang disampaikan ke KPK.
Dugaan yang diperkuat dengan fakta-fakta inilah yang menjadi tamparan keras bahwasanya reformasi konstitusi merupakan pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan. Reformasi konstitusi haruslah berkeadilan dan dipastikan demi sebesar-besarnya kepentingan serta kemakmuran rakyat. Sehingga kedepannya regulasi konstitusi dapat lebih bekerja secara efektif dan efisien untuk mendukung upaya mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana tercantun dalam Pembukaan UUD 1945.