Tanamkan Nilai Budi dan Bakti Kepada Para Leluhur

Admin
Tanamkan Nilai Budi dan Bakti Kepada Para Leluhur
Foto : Irwan

RITUAL sembahyang kubur atau  Cheng Beng sudah bisa terasa walaupun puncak perayaan jatuh pada 5 April mendatang  Seperti  yang terlihat di Komplek Pemakaman Yayasan  Sejahtera Sungailiat, Kabupaten Bangka. Walaupun mentari masih malu-malu menampakan sinarnya, sejumlah warga Tionghoa sudah      sibuk dengan berbagai aktiitas di pemakaman Cheng Beng adalah ritual  tahunan di mana warga Tionghoa ziarah ke makam leluhur, orang tua serta kerabat untuk membersihkan makam, menyediakan sesajian dan melakukan ritual sembahyang sesuai dengan ajaran Konghucu.

Pengurus Yayasan Sejahtera, Hengky mengatakan sejak pertengahan Bulan Maret dirinya sudah melakukan persiapan sembahyang kubur dengan memasang lampion di sepanjang pintu gerbang, membersihkan area jalan dan menarik sumbangan sukarela.

Di depan kantor dipasang spanduk yang bertuliskan nilai-nilai perayaan Cheng Beng sebagai bentuk perwujudan rasa bakti kepada para leluhur. Di area pekuburan yang memiliki luas tujuh hektar ini terdapat lebih dari 5.000 makam hingga ke atas bukit.

Menurut Hengky, sebelum puncak perayaan peziarah lebih dominan berasal dari luar Bangka dan tidak sedikit pula yang datang dari luar negeri. Bayangkan jika seluruh makam dikunjungi oleh anak, saudara dan generasi mereka.

 Ini menunjukan bagaimana nilai-nilai budi dan bakti menjadi kekuatan dalam sendi kehidupan etnis Tionghoa. Bersih-bersih Makam Seperti Sandy, warga Sungailiat yang kini sudah 15 tahun menetap bersama keluarga di Serpong, Banten, menghabiskan sebagian jatah cuti kerja untuk berkunjung ke kampung halaman.

Ia mengajak serta keluarga untuk ziarah ke makam orang tua, kakak dan mertuanya yang terdapat di kompleks pemakaman Yayasan Sejahtera Sungailiat. Ketika ditemui ia bersama anak lelakinya sedang membersihkan rumput liar yang tumbuh subur di atas makam.

 “Sudah dua puluh tahun ini setiap Cheng Beng pasti nyekar ke makam orang tua, bersih-bersih makam dan berdoa dengan keluarga,” aku Sandy. Setiap tahun Sandy memilih untuk membersihkan sendiri makam-makam tersebut dan mengecat bagian makam dan tulisan yang ada di batu nisan. Hal ini dikatakannya sebagai wujud bakti kepada orang tua.

“Prinsip saya bersih sendiri ini untuk menghormati orang tua, karena dari kecil kita sudah diurus sampai besar masa' kita tidak mau datang dan bersih ini semua,” katanya. Dirinya mengaku dalam peringatan Cheng Beng kali ini tidak mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk ritual sembahyang karena hanya membeli sesajian secukupnya berupa aneka kue, buah, daging ayam, daging babi, arak, dan perlengkapan sembah yang lainnya.

“Kalau tahun ini paling hanya satu juta, lima ratus ribu untuk beli perlengkapan cat dan lima ratus untuk beli alat sembahyang,” ujarnya. Harapannya peringatan Cheng Beng tidak hanya menjadi ritual tahunan, namun juga menanamkan nilai kepada generasi penerus agar berbakti kepada leluhur. Lain halnya dengan Asan, warga Sungailiat yang kini menetap dan membuka usaha di Bekasi, Jawa Barat.

Datang bersama istrinya, ia mengaku memilih membayar orang untuk membersihkan makam orang tuanya dengan membayar Rp 500 ribu. Menurutnya membayar orang lain untuk membersihkan makam bukan berarti tidak berbakti, namun ia dan istri ingin fokus melakukan doa dan sembahyang.

“Kebetulan di sini ada orang yang saya percaya untuk bersihbersih. Jadi kita datang dengan kondisi sudah bersih semua. Keramik ini juga kan perlu dicuci biar tetap bagus, apalagi ini posisinya ada di atas bukit,” terang Asan.

Menurut Asan, warga yang berasal dari luar daerah Bangka kalau tidak memungkinkan untuk datang langsung ke makam leluhur saat peringatan Cheng Beng, tetap harus berusaha membersihkan makam melalui kerabat di Bangka atau memberi upah orang lain.

Hal itu juga dikatakannya sebagai wujud bakti kepada leluhur. “Kalau tidak bisa datang misalnya sakit tetap berdoa dan sembahyang untuk orang tua di mana pun, yang penting makamnya dibersihkan dulu,” ujarnya.

Di sisi lain, perayaan Cheng Beng menjadi berkah bagi sebagian orang, seperti Kamsidin warga Cendrawasih, Sungailiat. Dibantu oleh dua orang temannya, setiap peringatan Cheng Beng ia bekerja membersihkan makam. Hasilnya ia mendapatkan upah mulai dari Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu per makam tergantung kondisi dan permintaan. “Ada juga yang minta dicat. Itu tergantung kondisinya paling mahal bisa Rp 1 juta,” jelasnya.

Ia mengaku pada tahun ini ada 20 makam yang harus dibersihkan, namun jumlah itu bisa saja bertambah mengingat puncak peringatan Cheng Beng masih sepekan lagi. Bermodalkan cangkul, parang, sapu lidi, ember dan kain lap ia dan dua orang temannya bisa mendapat total penghasilan Rp 5 sampai 7 juta dalam peringatan Cheng Beng.

Seperti nilai-nilai yang diajarkan dalam Konghucu, pada hakikatnya sembahyang kubur atau Cheng Beng merupakan ritual untuk menanamkan nilai budi dan bakti dalam generasi muda kepada para leluhur, orang tua dan kerabat yang sudah tiada. Tradisi Cheng Beng sekaligus mengingatkan kembali dari mana kita berasal. (BBR)


Penulis :Irwan
Editor   :Sanjay
Sumber :Babelreview